Sunday 21 February 2016

DUA PENGANTIN





”Masih jauh?” tanya Badrun tanpa menoleh. Kedua tangannya memeluk tas ransel yang ada di pangkuannya. Kaki kirinya terus bergoyang-goyang tanpa bergeser sedikit pun posisinya.

”Paling setengah jam lagi,” jawab Rozi sambil menggeser kepalanya mendekati jendela yang terbuka. Ia selonjorkan kursinya ke ruang kosong yang ada di depan jok yang didudukinya.

”Tadi jadi nelepon istrimu?”

”Jadi,” jawab Badrun lagi-lagi tanpa menoleh dan tanpa menggeser tangan dan kakinya sedikit pun. Jawabannya pendek dan terasa enggan. Membuat Rozi salah tingkah dan memilih diam.

Mobil Colt tanpa AC itu terasa kian pengap. Sopir mengeraskan musik dangdut yang sedang ia putar sambil ikut menyanyi dengan suara keras tak peduli ada dua orang penumpang di belakangnya.

”Kamu nggak mau nelepon siapa-siapa?” tanya Badrun kali ini sambil menoleh ke arah Rozi.

”Mau nelepon siapa?” Rozi malah bertanya balik sambil tertawa. ”Nggak punya istri!”

”Ya ibumu tho,” jawab Badrun sambil menatap Rozi. Kaki kirinya masih terus bergoyang.

”Ibuku sudah tua. Sudah pikun. Jangan-jangan juga sudah lupa punya anak bungsu yang namanya Rozi. Saking banyaknya anaknya yang lain,” jawab Rozi sambil terkekeh.

”Memang punya berapa saudara?”

”Tujuh! Aku yang kedelapan. Cuma sisa-sisa ampas. Nggak pernah diurusin juga bisa besar sendiri. Aku hilang juga tidak ada yang nyari. Aku mati juga paling tak ada yang nangisi.” Rozi masih terkekeh. Badrun meliriknya dengan heran.

”Tapi tak lama lagi aku pasti bisa kumpul sama Mamak. Berdua saja. Biar kumanjakan dia dengan apa saja yang ia minta. Biar sadar dia kalau hanya aku yang bisa bikin dia bahagia,” lanjut Rozi. Kata-katanya penuh penekanan. Terlihat ia sangat yakin dengan apa yang sedang ia katakan.

”Kumpul di mana?” Badrun bertanya pelan penuh rasa heran.

”Di surgalah! Di mana lagi? Mamak sudah sangat tua. Paling tak sampai setahun ia sudah menyusulku ke sana.”

Badrun menelan ludahnya. Goyangan kakinya semakin keras. Ia peluk ranselnya semakin erat.


”Istri dan anakku masih lama nyusulnya,” kata Badrun pelan. Lebih menyerupai bisikan pada dirinya sendiri. Tapi Rozi masih bisa mendengarnya.

”Ya bagus. Bisa lebih lama mendoakan kamu. Doa anak untuk bapaknya katanya doa paling manjur.”

”Lha apa orang seperti kita ini juga masih butuh doa?”

”Hehhehheh,” Rozi memainkan suara tawanya. Ia tak menjawab pertanyaan Badrun dan malah memilih untuk mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

Mereka berdua diam. Suara sopir yang sedang menyanyi mengikuti lagu yang sedang diputar terdengar semakin jelas.

”Memang bidadarinya secantik apa tho, Zi?” Badrun membuka mulutnya tanpa menoleh ke Rozi.

”Heh?” Kini suara ”heh” dari mulut Rozi bukan lagi suara tawa yang dibuat-buat, melainkan letupan kaget atas pertanyaan Badrun.

”Aku nanya, bidadarinya secantik apa?” Badrun mengulang pertanyaannya lagi-lagi tanpa menengok ke arah Rozi.

”Katanya sih, cuantiiiik banget. Kecantikan yang tak bisa dibayangkan oleh akal kita,” jawab Rozi dengan kalem. Ia tak lagi bicara sambil tertawa atau cengengesan. Matanya beberapa saat dipejamkan, seperti sedang mencari-cari bayangan kecantikan itu dalam kegelapan penglihatannya.

”Kayak Desy Ratnasari?” Badrun kini bertanya sambil memandang Rozi.

”Walah, kalau itu ya jelas lewat jauh!” jawab Rozi sambil memainkan tangannya, seolah ingin memberikan penekanan pada kata lewat jauh yang diucapkannya. ”Agak kearab-araban barangkali ya. Yang matanya lebar, hidung bangir, kulit putih. Aaahh!”

Keduanya mengikik. Seperti sedang menertawakan diri mereka sendiri.

”Kamu sudah pernah kawin, Zi?”

”Sudah dibilang enggak punya istri.”

”Iya, kawin kan enggak perlu punya istri.”

Mereka tertawa kecil bersama.

”Belum pernah, Drun. Enggak ada yang mau sama aku,” jawab Rozi masih sambil tertawa.

Badrun tertawa kecil. ”Pantas kamu sudah mau cepat-cepat ketemu bidadari.”

”Kalau itu betul. Siapa yang tak mau ketemu bidadari!”

Lagi-lagi mereka mengikik bersama. Tawa yang begitu lirih dan tertahan, yang lebih menyerupai suara isakan dibanding suara tawa itu sendiri.

”Nanti akan sesakit apa ya, Zi?”

”Ah, kau ini Drun! Sudah hampir sampai masih pula tanya akan sesakit apa.”

”Sebenarnya aku ini penakut, Zi.”

”Sudah pastilah kita yang memilih jalan ini penakut, Drun. Takut dosa. Takut sama Allah. Juga takut sama hidup.”

”Sudah sempat makan kau tadi, Drun?”

Badrun menggeleng. ”Enggak ada selera. Lapar pun sudah tak terasa.”

”Jangan begitu. Makanan enak mungkin hanya satu-satunya yang layak kita kenang dari dunia yang jahanam ini,” kata Rozi sambil merogoh tas yang ada di samping kakinya. ”Nasi padang!”

”Ini,” katanya sambil menyerahkan satu bungkus pada Rozi. ”Aku tadi beli dua bungkus. Sama-sama pakai rendang, limpa, otak. Pokoknya kita harus makan enak. Biar kita makin bersyukur dan bisa menuntaskan perjuangan kita ini.”

Badrun menerima sebungkus nasi yang diberikan Rozi, tapi ia tak juga membukanya. Rozi tak peduli. Ia makan nasi itu dengan tangannya, begitu lahap seolah tak ada kerisauan sedikit pun di dalam hatinya.

”Di sana nanti enggak ada nasi padang, Zi,” kata Badrun sambil tertawa.

”Kata siapa?” tanya Rozi dengan mulut penuh nasi. ”Apa pun bisa kita dapatkan di sana. Nasi padang, sate kambing, ayam goreng, pizza, semua tinggal tunjuk saja! Gratis!”

”Minum bir boleh enggak di sana?”

”Huahahahaha…!” Rozi tak menjawab selain dengan tawa yang terbahak-bahak. Badrun membalasnya dengan ikut tertawa walaupun dalam hatinya ia benar-benar ingin tahu apakah di tempat yang sedang mereka tuju akan disediakan bir atau tidak.

”Mudah-mudahan tubuhku nanti tetap utuh ya, Zi,” kata Badrun sambil mengusap mukanya.

”Apa bedanya?” tanya Rozi sambil menjulurkan tangannya ke luar jendela, mencucinya dengan air minum dalam botol.

”Ya biar bisa dilihat sama anak istriku.”

”Huahahahahaha…!” Rozi terbahak-bahak. Sangat keras hingga membuat sopir menengok ke belakang. Rozi melambaikan tangannya pada sopir dan berkata, ”Lanjut dangdut!” Sopir itu tersenyum dan kembali lagi sibuk dengan musik yang sedang diputarnya.

”Kok malah tertawa?”

”Ya kamu itu goblok! Harusnya kamu berharap agar tubuh kita itu hancur sehancur-hancurnya. Biar tak ada lagi yang bisa mengenali. Biar tidak ketahuan kita siapa.”

”Aku masih ingin bisa pulang ke anak istriku, Zi. Dimakamkan di dekat mereka.”

”Kamu yakin istrimu masih mau nerima?” kata Rozi dengan nada mengejek. Badrun tak menjawab apa-apa.

”Memang kamu tadi bilang apa ke istrimu?”

”Enggak bilang apa-apa.” Badrun menjawab dengan enggan. Rozi pun memilih diam.

”Sudah hampir sampai,” kata Rozi kemudian sambil melirik jam tangannya.

”Mall-nya ada di depan itu,” kata sopir tanpa menolehkan kepalanya ke belakang. ”Nanti saya turunkan di depan lobi lalu langsung saya tinggal. Ada penumpang lain yang nunggu.”

Rozi mengambil tas yang menyandar di kakinya, memangkunya dan memeluknya sebagaimana yang sejak tadi dilakukan Badrun. Badrun memejamkan matanya. Kaki kirinya masih terus bergoyang, bahkan kini kian keras.

”Bidadarinya nanti langsung jemput kita, Zi?” Badrun bertanya lirih, nyaris berbisik, tanpa membuka matanya.

”Katanya begitu,” jawab Rozi juga dengan lirih.

Mobil berhenti. Musik dangdut masih terus mengalun, tapi sopir itu tak lagi ikut menyanyi. Rozi membuka pintu di sampingnya sambil mengangkat ransel yang dipangkunya. Badrun mengikutinya. Mobil langsung bergerak saat Badrun menutup pintu yang dilewatinya.

Mereka berjalan bersama menuju pintu kaca yang dilewati banyak orang dengan memanggul tas ransel di masing-masing punggung mereka.

”Nanti bidadari yang jemput satu atau dua, Zi?” bisik Badrun tepat di telinga Rozi.

”Sepuluh, Drun,” bisik Rozi. ”Sepuluh bidadari akan menjemput kita.”


(Sumber: harian Kompas edisi 14 Februari 2016, halaman 27 dengan judul "Dua Pengantin." oleh okky madasari)

Friday 12 February 2016

Anak yang Tidak diakui negara dan umat agama

Kulihat jejak kaki di tanah kering yang belum sempat terhapus oleh angin kereta. Jejak yang nampak masih baru itu menuju cargo rusak disamping stasiun. Hemat saya, mereka adalah anak bangsa ini yang terlantar, kasihan. Rupanya negri ini tak menoleh sedikit pun untuk sekedar memberi mie instan.

Sedemikian bagusnya UUD 1945 yang telah diciptakan oleh pendahulu tidak selalu dijalankan oleh pemerintah dan mayarakat Indonesia.  Dalam UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 yang berbunyi Fakir Miskin dan anak - anak yang terlantar dipelihara oleh negara. negara? siapa?

Mereka seharusnya dipelihara oleh negara. Negara Indonesia! Negara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat[1]. Definisi lianya, negara adalah kelompok sosial[2] yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.

Dari definisi tersebut, saya menyimpulkan siapa yang seharus bertanggung jawab atas mereka yang terlantar, pertama rakyat , kedua kelompok sosial dan yang paling bertanggungjawab adalah organisasi dan lembaga politik dan pemerintah. 


Anak yang mungkin tidak diakui negara tersebut juga tidak diakui umat agama, betul? walau tidak emua begitu.  Anaka anak terlantar tidak hanya diatur oleh ayat ayat konstitusi, mereka juga diatur dalam agama, contoh umat islam yang merupakan agama mayoirtas.

Pada surah Al-Baqoroh ayat 83 disebutkan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Sebagian dari anak jalanan itu misalnya seorang yatim dan miskin maka tentunya ada anjuran untuk menyantuninya.

Pada surah Al Baqarah, Ayat 177 disebutkan bahwa kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Tapi nyatanya, Coeg? Mereka terkatung katung membawa nyawa tanpa tahu hari esok. Mereka seharusnya bahagia dengan orang tua, dan saudaranya(kita). Agama islam pun menegaskan 2.5% harta kita adalah milik orang lain, tepatnya milik mereka dan orang orang dalam kesulitan.

Butuh alaasan apalagi untuk tidak membantu mereka? 

Tuhan dalam islam pun mengeluarkana firman andalannya "Orang orang beriman dan beramal shaleh akan mendapatkan tempat yang layak disisiNya"

Tuesday 9 February 2016

L-G-B-T Juga Makhluk Ciptaan Tuhan, Sikapilah.

Semua orang tidak mau direndahkan, dikucilkan dan diberi hukuman yang timpang tak terkecuali LGBT, Lesbi Gay, Biseksual dan Transgender. Apalagi orang normal pada umumnya? Coba anda katakan 'ASU' pada kawan anda, atau sebaliknya. Atau yang lebih ringan saja, KETEK! apa reaksi anda? Tidak perlu dijelaskan bagaimana perasaan dan tindakan yang akan anda lakukan.


Menyangkut hal kemanusiaan memang tidak mudah untuk disamakan, karena manusia memiliki dogma yang beragam. Ada yang melarang, ada yang tidak dan ada pula yang acuh. Hal yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Tuhan menciptakan kaum seperti itu? kenapa?

Jika kita pernah menghayati surat Al baqarah 30, anda pasti memahami sampai saat ini. Kenapa Tuhan menurunkan manusia ke bumi? padahal ada malaikat yang selalu bertasbih. Sikapilah..

4:57 Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai istri-istri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.

4:124 Barang siapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.
 
4:173 Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal shaleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain daripada Allah.

Amalnya, bukan kebenaran dan kesempurnaan kita yang akan diterima disisi Tuhan. Jadi sikapilah, jika anda masih mengaku manusia yang memiliki rasa kemanusiaan. Walaupun Tuhan telah menurunkan firman mengenai kejadian ini di beberapa ayat Adz Dzaariyat, Al Ankabuut, Al Hijr, Asy syu'araa, huud, al Qamar dan lainnya.

Dalam surat itu, menjelaskan bahwa kaum LGBT adalah kaum yang melakukan perbuatan keji dan pasti kena azab dari Tuhan. Sama halnya jika kita memperlakukan mereka dengan keji, kita juga merasakan azab Tuhan. Sikapi!

Tuhan telah menyempurnakan manusia dengan akal pikiran rasa adalah untuk menghadapi masalah sedemikian rupa agar kelak sesama manusia bisa menjadi khalifah dibumi ini.