Sunday 7 June 2015

Diskriminasi dalam dompet


Sore ini hujan memaksa tetanggaku mengankat jemuran, kayu bakar yang hampir kering dan sisa nasi kemarin dengan tergesa gesa. Mereka bagai mainan yang dikontrol oleh remot, mereka serentak bergerak dari dalam rumah mengambil apa yang sedang dijemur. Itulah remot, remot alam yang akan menyusahkan ketika kita tidak mengenal lingkungan.

Di atas tanah yang mulai becek, ada sedikit yang menarik. Selembar daun tetean, mainan anak dulu yang dijadikan uang mainan. Daun itu sudah basah dan kotor yang akan terbawa air hujan. Air hujan adalah perubahan dan kau daun adalah hal yang akan selalu terbawa dalam perubahan.

Hujan, apakah engkau pernah berpikir berhenti menjatuhkan air dari atas? Manusia sudah tidak sama ketika mengharapakanmu sebagai anugrah. Kini kau penyebab bencana. Berbeda ketika ayah dan ibu belum melarang bermain denganmu di sawah kering kala kau turun pertama kali.

Ini rinduku, Hujan. Bak lelaki yang merindukan kekasihnya di malam minggu. Aku kini kesepian mengharapkan hujan sebagai teman bermain. Sulit bagiku untuk memetik daun sebagai mahkota. Bercumbu dengan tanah, sungai dan tentu denganmu, Hujan.

Mungkin ini lamunan masa kecil dan masa kini yang jauh berbeda. Tidak ada bising motor, tidak ada bising pabrik dan tidak ada bising media politik. Hanya ada kicau burung dan riangnya anak, suara air mengalir dan suara semangat gotong royong.

Alamku yang terdiskriminasi oleh aku sendiri. Tidak disadari akulah pelakunya. Ketika aku mulai senang membeli mainan plastik dari orang sitip. Ketika uang jadi alat serba guna menunaikan ibadah. Gopoh tubuh ini, ketika mendengar temanku bangga membeli roda besi, wungkal berbaterei dan kain bule.

Maafkan aku alam, aku tidak mencintaimu.  Sungguh kejam, tempat yang kutempati sudah dimiliki oleh orang lain. Kini hanya ada sejarah tertulis rapi tiada bukti dilembaran buku yang ditulis oleh para pemenang perang. Tempatku hilang....

Ludbizar, 6 juni 2015

Thursday 4 June 2015

CERPEN LUCU TERBARU : Jam Londog



Oleh Ludbizar

Pagi masih memberi embun di dedaunan. Sejuk dan nyaman hari ini, bahkan terlalu nyaman. Waktu yang sudah menunjukkan pukul 06.45, selayaknya anak sekolah sudah berangkat ke sekolah. Alarm yang terus berbunyi tidak mengindahkan aku untuk bangun.

Ya, sekian kali aku bangun telat. Dengan gerak malas, aku meluruskan badan dan membuka mata. Alarm yang setia berdering membuat aku bangun juga. “Yah, kesiangan” ungkap aku sambil memegang handphone. Aku lari ke belakang, mengambil air untuk cuci muka. Dengan tergesa gesa, aku langsung mengkayuh sepeda. Tak sempat aku pamit, tak sempat juga mengambil uang saku.

Jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor membuat sepedaku tak berani cepat. Sungguh, aku risih dengan kendaraan yang berasap. Asap itu kadang memaksaku untuk berhenti sejenak menikmati aroma mata di gedung mewah. Perempuan bersandang rapi dan menawan.

Di perempatan jalan aku menghembus nafas segar sambil menepi didekat jembatan sungai, tepatnya di sebelah gedung tadi. Belum sampai menepi, sebuah sepeda melewati sebelah kiri aku. “AWASSS !!!” Teriak seorang bapak. Bapak itu nyungsep di pinggir sungai. Sempat aku tertawa, liat bapak itu nyungsep tetapi sepedanya masih melaju.

Sepeda yang melaju sampai melewati jalan satunya. Hingga nampak seorang bocah ketar ketir melihat sepeda melaju tanpa pesepedanya. Itu gelak tawakku sesaat. Sang bapak justru terlihat sibuk mengutak utik benda yang ada di tangannya.

“Pak, bapak tidak apa apa?” Tanyaku dengan suara agak keras.

“Aku tidak apa apa nak, tapi jam tanganku kayaknya bermasalah” jawab bapak dengan nada lemah.

Bapak itu tidak menghiiraukan sepedanya yang di sebelah jalan. Dia hanya peduli dengan jam tangan.

“Lihat nak, kemari” dia memintaku untuk melihat jam tangannya. Dia menanyakan, “apa benar ini jam 6.30 petang?” “salah pak, waktu ini masih pagi, jam 08.00“ jawabku cepat sambil melihat jam di handphone.

Dia termenung sesaat “Ah, gak mungkin. Handphone kamu jadul” dia agak membela jam tangannya.

“Jam tanganku ini produk luar negri” sambung bapak sambil menunjukan jam tangan yang terdapat tulisan made in china. Padahal handphone jadulku juga made in china. Jam tangannya mungkin sempat terbentur benda keras ketika dia jatuh sehingga bermasalah. Dia tidak percaya, jam yang dibeli dengan harga melebihi sepedanya itu rusak. Anehnya, dia menggerutu “orang hari udah gelap kok, dibilang jam 08.00 pagi, dasar bocah !”.

Lekas dia berjalan menuju sepedanya yang disebelah jalan, dia pun masih memegang jam tangannya.

Hari menunjukkan pukul 08.20, waktu yang semakin membuat aku terlambat. Aku segera bergegas menuju sekolah. “Woy, bocah. Mau kemana? Kemari ” Ternyata bapak itu memanggilku.


Aku tak menhiraukan bapak yang sibuk dengan jam tangannya, tetapi bapak itu memanggilku berkali kali. Jadi aku terpaksa mendekatinya. Bapak itu justru menyerahkan jam tangannya kepadaku. Dia menceritakan bahwa jam tangannya yang membuat hidupnya tak menentu, karena terlalu mengatur waktu.

Dia bercerita, jam tangan itu adalah pemberian sang ibu yang sangat dicintainya. Dia yang sering terlambat kerja. Hampir setiap hari dia kena marah dari bosnya. Teman temannya pun mengejeknya dengan sebutan “Londog”.

Dia juga bercerita bahwa temannya pernah mengejek dengan kata “Londog” dalam urusan mendekati perempuan. Dengan ekspresi menjijikan bapak itu berkata “Sakitnya Tuh disini”. Banyolan bapak itu membuat aku lupa dengan sekolahku.

Sesudah mendengarkan cerita bapak itu, aku bergegas pergi dengan mengkayuh sepeda lebih cepat. Sampailah di sekolah, sekolah yang terlihat indah dari depannya saja. Sekolah dengan luas 22 hektar dengan 4 jurusan yang ada. Aku menyusup dari samping, lewat terobosan jalan yang sudah biasa dilalui siswa terlambat.

kamu telat lagi? Ini jam berapa? Tanya bapak munar yang langung menyambutku didepan ruangan. Jam 09.00 pak, Jawabku. “Mana jam kamu?” lanjut pak munar, aku menunjukan jam tangan pemberian bapak itu tadi, Jam Londog namanya.

Pak munar melihat jam tangan dan sambil memegang brewoknya pak munar tersenyum dan memperbolehkan aku untuk pulang lebih cepat dari teman temanku

huah, si brewok menunjukan taringnya. Begitulah panggilan ketua jurusan yang terkenal galak dan mempunyai brewok lebat. Pak munar adalah ketua jurusan. Dia sangat disiplin daripada guru guru lain di jurusannya.

Ya, waktunya pulang gasik. Dengan raut muka yang senang, Aku mencoba melangkah lebih jauh dari sekolah. Belum lama mengkayuh sepeda, rantai sepedaku lepas. Oh, nasibku.

Aku menepi dan memcoba memperbaikinya. Setelah beberapa menit, akhirnya jadi. Eh tiba tiba ada nenek nenek memanggil. “Nak, itu jamnya Londog?” Dengan sedikit bingung aku jawab “ini memang jamnya Londog, kok nenek tahu?” Dengan sigap nenek menjawab “Aku ini ibunya nak”.

Oh, ternyata nenek itu adalah ibunya bapak yang memberi jam tangan tersebut. Bapak itu memang sering dipanggil londog, bahkan oleh ibunya. Karena nenek itu memintanya lagi, jadi aku kasih jam itu. Mungkin Jam itu berharga bagi nenek itu sehingga diminta kembali. Kemudian, aku melanjutkan perjalanan pulang tanpa jam Londog.