Thursday 16 July 2015

Masalah manusia Indonesia

sahabat lpm sketsa/ supri dan fatur
Saya seorang mahasiswa kudet (kurang update) dari salah satu universitas di kota satria, Purwokerto. Tidak lebih dari mahasiswa kupu kupu dan tidak pernah memikirkan nilai bagus, pacar dan profesi yang bertahta. Saya mungkin lagi beruntung bisa kuliah karena Negara ini benar benar memberikan keadilan, imposible. Progam pendidikan kepada golongan paria yang sedikit bersih dengkulnya ini memberikan saya banyak peluang untuk belajar di ranah pendidikan tinggi. Benar benar berkat kuliah saya membuka ‘mata’, mengupas tebelnya sifat apatis terhadap lingkungan.

Kali ini saya mau sedikit menuntaskan kebahangan otak saya setelah kedua mata mulai terbuka. Ya, berawal dari pemilu presiden tahun 2014, saya tertarik dengan wacana revolusi mental dari capres no. 2 yang kini lagi menahkodai Negara Maritim, eloknya. Huforia public dengan adanya revolusi mental membangkitkan kaum kecil semakin percaya diri menghadirkan pemimpin yang kurasa tegas saat itu. Jelasnya, kita rasakan saat ini. Bagaimana regulasi dan taktik yang diterapkan atau hanya retorika untuk memungut suara secara cuma cuma.

Sebuah Hopeless atau lebih trend-nya PHP, seorang pemimpin menyandang gelar a new hope tidak reliable dengan tuturnya. Namun, bukan tidak mungkin negara ini jadi negara adi daya, minimal ASEAN untuk segala aspeknya. Jika retorika itu berakhir pada pengimplementasian yang didukung rakyat sepenuhnya. Lagi, sebelum rakyat menyublimkan kepercayaan kepada mantan gubernur DKI Jakarta yang belum cuci tangan dari jabatannya.

Hubungan kemanusiaan

Pemimpin bukan semena mena menjadi peracik adonan dasar pengembangan negara ini dan wakil rakyat (wakil rakyat yang punya jabatan) tidak berhak mempunyai hak rakyat. Sungguh, keadaan ini tumpang tidih. Ketika rakyat menganggap pemimpin tidak bejus dan pemimpin menganggap rakyat itu bodoh. Inilah yang terjadi dinegara ini, hubungan kemanusiaan yang luntur.

Hubungan kemanusiaan yang menganut unsur unsur kedekatan manusia dengan manusia, bukan manusia dengan materi dan alat ukurnya merupakan salah satu kunci membongkar masalah-masalah kemanusiaan. Tidak perlu contoh masalahnya apa. Simak saja dimedia informasi, kita akan langsung menemukan informasi tentang konflik manusia dengan manusia yang sifatnya monoton, bahkan menjadi headline.

Sementara penegak hukum yang katanya bisa membantu malah ikut ikutan terlibat masalahnya. Arep kepriwe maning lur? Orang kita juga lupa sama peribahasa yang sangat sederhana ini “Tak kenal, maka tak sayang”. Simpel lagi, kita hapal kan sila ke 2 kemanusiaan yang beradab? Salah satu ciri kemanusiaan yang beradab adalah hubungan kemanusiaan yang harmonis.

Hubungan kemanusiaan yang harmonis tentunya menimbulkan kegiatan kegiatan social yang baik seperti gotong royong, forum musyawarah, kerja bakti yang tidak sama sekali membebani rakyat. Sayang, kita tidak memikirkan itu, kita hanya memikirkan apa yang akan kita ukur. Seperti hidup dijaman kuno yang baru, berburu dan meramu.

Dari paragraph sebelumnya, seyogyanya kita paham. Masalah kemanusiaan diperbaiki dengan unsur kemanusiaan dan selesaikan dengan jalan kemanusiaan. Hukum ada karena adanya manusia dengan manusia saling menghargai dan mengerti apa yang seharusnya tidak dilakukan dan dilakukan. Percuma jika penegak hukum tidak mempunyai hubungan kemanusiaan baik dengan rakyat. Hukum juga milik rakyat.

Kembali pada bahasan yang lebih luas, sistem hubungan kemanusiaan jika diterapkan dalam aspek lebih luas memang ngambang seperti ditingkat bangsa. Namun, bukan ngambang karena tidak jelas, tetapi perlu hubungan kemanusiaan yang struktur dan massif. Dalam contoh lain, kita harus punya struktur yang bersifat kemanusiaan lagi seperti dulu.

Apa itu struktur yang bersifat hubungan kemanusiaan? Struktur yang dipakai manusia dalam membentuk kelompoknya, membentuk kelompok dari kelompok kelompok yang ada. Memang, struktur itu sudah ada, tapi hilangnya sebuah hubungan kemanusiaan yang tergantikan system social ekonomi. Kalau kita baca buku sejarah Indonesia, pasti ada sumpah pemuda. Betapa pemuda masa lalu sudah paham, mereka perlu mengakui tanah air, bahasa, dan bangsa Indonesia.
Bersambung...

0 komentar:

Post a Comment