Monday 30 March 2015

CERPEN : Kotak Lusuh

Kotak Lusuh
Oleh Ludbizar

ilustrasi kotak

Hujan mengguyurku saat pulang mengusung pengetahuan. Tiba dirumah tubuhku terbaring lemas di ranjang. Aku meringik sembari memegang dadaku yang lembek. Sore ini keluarga begitu cemas menyandangku. Terlebih ibuku, setiap detik tak memalingkan mata belainya. Beribu doa telah terucap untuk menyelamatkan satu-satunya anak yang tersisa. Sang pemberi asi gamang padaku, kehilanganku. Aku paham perasaan ibu, sorot kecemasan yang menyilau. Matanya begitu sayu, tak berseri.

Sore ini hujan mulai deras. Aku ingin duduk bersender. Memandang sebuah kotak yang lusuh, kecil, seperti sebuah hadiah kecil. Kulihat ukurannya seperti kotak cincin. Tak jelas apa yang ada didalamnya. Kotak itu ada sebelum aku berada disini. Setiap orang yang masuk akan menganggapnya sebuah barang antik. Ah, masa bodo. Kotak itu seperti mainan yang tersedia di tukang mainan keliling.

Kotak kecil itu adalah kotak mainan kakakku. Ibu menjawabnya begitu setiap kali aku tanya tentang kotak itu. Oh, mungkin ibu masih mengenang mainan kakakku. Entah, ibu hanya bisa berpasrah, kakakku dan aku yang sedang dipikirkannya, anak anak yang lemah.

Dulu setiap sore, aku dan kakak mengobrol di sini, menghadap kakakku. Aku sering memandang matanya yang teduh. Mata yang seolah bercerita dengan riang. Mata yang membuat aku percaya bahwa dia seorang kakak yang tabah. Aku belum pernah melihat wanita yang penuh cinta dan gairah. Kulit putih menjadi segar meliuk ketika ia menggerakkan badannya. Suaranya yang lembut seperti alunan yang menarik genderang telingaku, begitu lirih. Kakak cerdas dan luar biasa bila ia bercerita, menawan dan bersabda. Sorot matanya tajam, gerak tubuhnya seperti seorang aktris andal. Seolah tak satu pun ketuaan tertoreh di setiap hempasan napasnya.

Banyak bercerita tentang hidupnya dan kotak itu. Katanya, dalam kotak itu adalah mainan kakakku, mainan kesayangan ketika aku menanggis. Kakakku dengan kotaknya lihai membuat aku bergembira lagi. Masa kecilku, masa balitaku. Aku tak bertanya perihal pernyataan kakak. Karena jelas kotak itu mainan bersama aku dan kakakku. 

Suatu sore kakak bersabda ”Perbedaan antara kita dan kotak ialah berbatas. Kita mesti mencari cinta kasih yang kekal, tanpa hukum-hukum material yang menyebabkannya terputus. Kita harus dapat melampaui keadaan putus tersebut.” kakak begitu lugas. Setelah selesai, kakak biasanya memegang kotaknya. Kami selalu seperti itu, selalu mengumbar rasa pada segala yang ada di sekitar. Walau cuma ada kotak. Bagi kami, hidup tak bakal habis meski digali dari sebuah kotak.
 
Hujan telah lebat, selebat kecemasan ibu kepadaku. Sebab tak biasanya aku sakit meringik akhir ini. Sebelumnya, sehari atau paling lambat tiga hari, ada hal yang aneh padaku. Hal itu menjadi biasa karena aku terlalu keras beraktivitas. Aku pikir itulah musabab aku merasa sakit di dadanya. Ibu juga mengatakan bahwa ibu merawat kakak seadanya, sebelum pergi. ibu tidak mau mengulangi. Ibu memandangku penuh harap, aku tetap hidup.

Aku mencoba menghilangkan kecemasan perihal aku dan kakak. Aku menggali-gali kenangan yang sempat ditanam dalam hidupku. Sewaktu kecil, kakak gemar bermain kotak itu, kali ini aku menirunya untuk membuat ibu gembira, pikirku. Namun tubuh yang lemas, aku hanya bisa berkata "Aku tetap hidup disini bersama ibu" dalam selembar kertas yang aku masukan dalam kotak. Kotak kecil yang lusuh.

CERPEN : Kesetiaan Sahabat

 Kesetiaan Sahabat
Oleh Alifah Resiani
Ilustrasi Alifah dan sahabat

Teng..teng..teng…bel tanda pulang pun berbunyi. Akhirnya setelah lama menunggu, Rere, Wita, Cindy, dan fina bergegas menyambar tas dan pulang. “rasanya lama banget kalo pas pelajaran matematikanya bu Weny! Gumam Cindy di tengah perjalanan pulang. “iya tuh, berasa di kurung di tengah hutan dehhh” sambar Fina menambahi perkataan Cindy. Serentak mereka tertawa bersamaan “haaaahaaaa…..”. Eeiittt, kalian tuh jangan gitu sama guru sendiri, lagian enak kok kalo ibu Weny ngasih materi, bisa nyambung di otakku, ujar Rere yang dari tadi hanya diam. “iyalah, namanya juga murid kesayangan, pasti ya gurunya selalu di bela” tukas Fina mencibir.

Rere merupakan sosok yang selalu mengalah jika teman-temannya sedang berdebat hebat, dia akan menengahi dan memberi nasehat kepada teman-temannya, Fina merupakan anak yang bawel dan cerewet. Sedangkan Cindy merupakan anak yang super rajin dan di siplin dengan waktu, Bertolak belakang dengan si Wita, Wita merupakan anak yang selalu ngaret dan tidak tepat waktu. Itulah sifat mereka berempat, walaupun banyak perbedaan mereka saling memaklumi satu sama lain.

Candaan, ejekan, dan gurauan dari ke empat sekawan itu tak pernah diambil hati oleh mereka. Karena mereka sudah terbiasa bersama sejak mereka masih SD, dan sekarang mereka duduk di kelas 2 SMA. Persahabatan mereka bermula karena jarak rumah mereka yang cenderung berdekatan di tambah sekolah mereka yang selalu sama. Rumah Rere dengan Cindy hanya bersebrangan jalan, sedangkan rumah Wita dan Fina berjarak sekitar 500 meter dari rumah Rere dan Cindy, tetapi walaupun lumayan jauh, mereka kemana-mana selalu bersama.

Hari minggu pagi biasanya mereka jogging ke taman dekat rumah Wita dan Fina. Diantara mereka berempat yang paling malas bangun pagi adalah Wita, jadi mereka harus kerja keras jika membangunkan Wita. “witaaaaa….” Mereka bertiga serempak membangunkan Wita. “arrgggg.. “,Wita hanya menggeliat lalu menarik selimut kembali. Karena tidak sabar membangunkan Wita, akhirnya mereka bertiga mempunyai akal untuk membangunkan Wita, dan alhasil mata Wita langsung melek dan bergegas bangun. Ternyata Wita paling tidak suka dengan aroma bunga melati, dan kebetulan di depan rumah Fina banyak bunga melati. “haaahaha, mereka ngakak melihat aksi Wita yang kelimpungan mencari aroma bunga melati. “hmmmm…dasar ya kalian, tunggu pembalasanku nanti, gerutu Wita sambil bergegas bangun.

Saat jam istirahat, Wita dan Rere pergi ke kantor karena ada guru yang memanggil mereka berdua, dan tinggallah Cindy dan Fina di dalam kelas. “Fin, kamu tau gak tim basket sekolah kita, yang di kelas 12.A itu lho..” ucap Cindy memulai pembicaraan. “iya ya..aku tau, yang anaknya ramah, tim basket sekolah kita kan? Ujar Fina menaggapi. “aku seneng banget kalo lagi liat dia main basket, trus kemaren itu pas aku di perpustakaan, gak sengaja aku ngambil buku yang sama dengan dia, kemudian dia tersenyum kepadaku, waaaww, rasanya seperti mau terbang.hihihi” fina mulai bercerita dengan hati berbunga-bunga.

Di lain tempat, Cindy juga menceritakan hal yang sama mengenai Danang tim basket sekolah mereka. Beda dengan Wita, kalau Cindy ketemu Danang ketika mereka sama-sama pergi ke mushola, tetapi memang danang anak yang ramah, jadi ketemu siapa aja pasti senyum. Wita dan Cindy yang merespon lebih dan beranggapan bahwa Danang menyukai mereka. Sejak saat itu Wita dan Cindy sering senyum-senyum sendiri dan jarang mau pulang bareng, mereka selalu menunggu kesempatan untuk pulang bareng dengan Danang. Walaupun mereka tahu bahwa mereka menyukai orang yang sama, tetapi mereka tidak saling bermusuhan dan mereka berencana untuk bersaing secara sehat.

Satu bulan sudah Wita dan Cindy bersaing untuk mendapatkan hati Danang, dan sampai saat itu Danang tidak menerima satu dari mereka, karena Danang tahu, jika dia memiih salah satu maka persahabatan mereka akan hancur. Suatu hari Rere di panggil bu Weny untuk menghadap ke kantor. Ternyata Rere diberi kepercayaan oleh bu Weny untuk mewakili sekolahnya dalam olimpiade Matematika.  Setelah sampai kantor, Rere kaget karena rekannya yang di kirim untuk mewakili sekolahnya adalah Danang, cowok yang diidolakan sahabatnya. Rencananya Rere akan memberitahukan kepada sahabatnya mengenai Danang, tetapi karena waktu olimpiade hanya tinggal 1 minggu maka Rere belum sempat memberitahunya. Hingga pada akhirnya Wita dan Cindy melihat Rere sedang berdua bersama Danang di perpustakaan. Mereka berdua langsung mengira kalau Rere telah menghianati mereka berdua.

“aku gak nyangka, ternyata Rere bisa seperti itu kepada kita wit,” ucap Cindy dengan nada sedikit geram. “iya Cin, diam-diam dia telah menghianati kita, dia sering tidak ikut pelajaran ternyata hanya ingin berduaan dengan Danang, sambung Wita menambahkan. Kesalahpahaman Wita dan Cindy membuat Fina menjadi bingung dan penuh tanda Tanya. Tetapi setiap Fina bertanya, mereka tidak ada yang mau buka mulut. Kebingungan Fina bertambah setelah melihat perlakuan Wita dan Cindy yang begitu dingin kepada Rere.

“wit. Apa kamu liat bukuku?” Tanya Rere yang dari tadi mengobrak-abrik tas miliknya. “apa kamu menuduhku?” jawab Wita cetus. “aku gak bermaksud menuduhmu, aku hanya bertanya, siapa tau bukuku nyelip ditas kamu, ucap Rere menjelaskan. “jelas-jelas bukan Wita yang mengambil, kenapa kamu masih menuduhnya? Kata Cindy memojokkan Rere. Fina hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat sahabat-sahabatnya saling berdebat. Fina semakin heran kenapa Wita dan Cindy selalu memojokkan Rere. Karena Fina penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi, sehingga fina mencari tahu penyebab Wita dan Cindy memusuhi Rere.

Setelah Fina menyelidiki, akhirnya Fina mengetahui apa penyebab Wita dan Cindy menjauhi Rere. Ternyata itu semua gara-gara mereka melihat kedekatan Rere dan danang tanpa mengetahui apa alasannya terlebih dahulu. Kemudian Fina mengajak sahabatnya brkumpul dan menyuruh mereka untuk saling memaafkan. “aku tidak mengerti mengapa kalian seperti ini kepada Rere, jika ada masalah tolong beritahu, siapa tahu aku bisa membantu.” Ucap Fina membuka percakapan. “kamu tidak tahu apa-apa, jadi tolong jangan ikut campur, kata Wita. “oh, rupanya kalian sudah tidak menganggapku sebagai sahabat kalian lagi? Oke fine, terimakasih untuk kejujuran kalian, tapi aku harap kalian berikan alasan kenapa kalian membenci Rere,” tukas Fina.  “emmm..bukan maksud aku dan Wita seperti itu Fin, tolong jangan salah faham dulu.” Kata Cindy menjelaskan. “sudah-sudah, ini semua salahku, aku tau sekarang kenapa akhir-akhir ini kalian membenciku, aku minta maaf karena belum sempat menjelaskan apa maksudku sering bersama Danang.” Ucap Rere menengahi.

Setelah mendengar penjelasan dari Rere, mereka semua menjadi mengerti dan Cindy mulai memaafkan Rere. Lain halnya dengan Wita, sepertinya Wita masih belum bisa memaafkan Rere lalu Wita berlari keluar kelas dan di ikuti dengan Fina. Wit, kamu mau kemana? Tunggu dulu, ucap Fina seraya menyambar tangan Wita. “aku benci dengan Rere, kenapa dia gak pernah cerita sebelumnya, biasanya kalau ada apa-apa pasti dia cerita dulu kepada kita, apa dia udah gak menganggap kita sahabatnya lagi? Wita terus bertanya kepada Fina. Selang beberapa menit, terlihat Rere dan Cindy mnyusul mereka berdua. Karena rasa bersalahnya, Rere lalu memohon kepada Wita untuk memaafkan Rere. Atas penjelasan Fina akhirnya Wita dapat memaafkan Rere. “wit, kenapa kamu belum bisa memaafkan Rere? Harusnya kita sebagai sahabatnya mendukung dan memberikan support kepadanya karena sebentar lagi dia akan mewakili sekolah kita untuk mengikuti olimpiade, Rere pasti sedih, karena di saat dia butuh dukungan, ternyata sahabat-sahabatnya malah membencinya. Ucap Fina. “iya aku sadar, tindakanku selama ini salah, Rere aku benar-benar minta maaf karena di saat seperti ini kita tidak mendukungmu, ucap Wita dengan suara serak dan tak kuasa menahan butiran airmatanya. Mereka berempat pun saling berpelukan, dan saling menyadari kesalahan masing-masing.

Berkat dukungan dan doa dari para sahabatnya akhirnya Rere berhasil meraih juara pertama olimpiade matematika antar sekolah. Setelah kejadian itu, mereka banyak mengambil pelajaran yaitu tidak ada yang lebih berharga kecuali sahabat yang selalu ada dalam setiap moment dan selalu memberikan support tanpa pamrih.

Saturday 28 March 2015

Indonesia bagai surga yang hilang bidadarinya



Indonesia bagai surga yang hilang bidadarinya


Ilustrasi

Indonesia memang terkenal dengan negara yang ramah, santun jika dilihat dari system sosialnya, negara yang agraris jika dilihat dari kesuburan tanahnya. Sistem kerja gotong royong di Indonesia mengindikasi hubungan sosial masyarakat yang harmonis. Indonesia negara yang subur, apa saja bisa tumbuh di Indonesia. Seperti lirik lagu coesploes negara ini bagai kolam susu.

Wacana tersebut sudah hilang setelah bertahun tahun kita hanya membacanya, menurut ki titut salah satu budayawan banyumas menuturkan bahwa Indonesia adalah sorga yang hilang bidadarinya, tidak ada kebahagiaan. Segala diukur dengan uang. Hal hal yang bersifat kemanusian mulai luntur.

Orang orang yang bercocok tanam sudah jarang. Ibarat mencari orang yang mau kerja di sawah sangat sulit, harus mendatangkan orang dari daerah lain untuk kerja disawah untuk menanam. Padahal negara ini subur, sayang petani kita bukan petani yang memiliki lahan. Petina kita hanyalah buruh tani.

Tidak hanya itu, tanaman tanaman yang dulu bisa kita ambil seperti daun singkong saja tidak banyak. Hanya beberapa segelintir orang yang menanamnya. Walau progam progam pemanfaatan lahan kosong digalakan melalui ibu ibu PKK, tapi muspra hasilnya. Sebab, banyak lubang di saluran dana menuju ke desa.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kenyataan diatas adalah berubahnya sistem sosial dan ekonomi seperti yang dituturkan oleh agus (16/03) bahwa saat ini apa apa perlu biaya besar, karena beralihnya hubungan kemanusiaan yang bersifat kasih sayang ke sistem transaksional.

Lebih dari itu, hilangnya tokoh tokoh masyarakat yang mengedepankan prinsip ekonomi gratis atau freenomics, tidak membebani masyarakat membuat masyarakat tidak harmonis dan terombang ambing. Sehingga mudah terpengaruh pada kebiasaan kebiasaan buruk yang terpaksa menjadi budaya.

Tokoh masyarakat dalam membangun sistem sosial dimasyarakatnya menggunakan prinsip freenomics untuk menciptakan keadaan sistem sosial yang harmonis. Dari keadaan yang harmonis itu kegiatan yang bersifat kemanusiaan seperti gotong royong, kerigan, sistem kondangan muncul ditengah masyarakat.

Sayangnya, gotong royong dan kerigan mulai luntur dengan sistem sosial ekonomi dimana masyarakat teguh memakai prinsip ekonomi, dengan pengeluaran seminimal mungkin mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam artian lain, kondisi masyarakat sudah tidak harmonis dan takut tidak memiliki hal yang dapat diukur dengan uang.

Oleh karena itu, sudah menjadi fardu bagi kita yang tau, paham dan berpotensi untuk mengubah system social yang harmonis kembali. Tidak menjadi masyarakat yang kuno diera modern. Sebisanya, kita menjalankan fungsi agen of change dari posisis kita sebagai mahasiswa.

Thursday 26 March 2015

Judulnya Aku



Judulnya aku
Oleh Ludbizar


Remah gerabah di tubuh pemuda
Tubuh yang membahang di ruang apatis
Celah cahaya menyuat mata
Sebuah jendela yang menata diri

Jangkauan daya guna kaki yang memendek
Malas melangkah, berjalan, apalagi berlari
Hanya menindihkan kepala di peristirahatan
Melupakan arena pertandingan di gedung megah

Melihat jutaan orang berlomba memboyong kuasa
Menjalankan segala hak yang bisa disusun
Sebisa manusia melontakan fardhunya
Dalam ruang sempit belas kasih

Ini dilema, dilema putra buruh
Sebuah kejujuran dalam aksara
Menyanyi tanpa suara lantang
Menari tanpa keelokan

BiBu



Bibi dan Buku (bibu)
Oleh Ludbizar*



Abu-abu menghibur pagi, menampung derajat kegirangan orang orang yang menyapa kemenangan.  Lupa memandang awan, hari ini menyisihkan sebagian kebahagian di hari kemenangan. Bara semangat tidak beku meski udara dingin menguasai hari ini.
Gerak bibir manis mereka memudarkan kegelisahanku dan bibi dari gubuk kecil. Puluhan wajah baru sepanjang hari dengan pakaian rapi, mendatangi kami. Mereka adalah orang-orang yang sedang merayakan kemenangan. Berbeda dengan kami yang selalu berteduh di gubuk dengan harapan besar ada seorang yang mau berbagi kemenangan dengan kami.
Mereka berkata “minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir batin,  ” sempat bertanya pada sang bibi “itu siapa bi?” Tanyaku lugu, bibi menjawab mereka adalah saudara kita, yang akan membantu kita. Bibi selalu menuliskan kalimat di buku kecil, bibi melakukannya agar aku paham jawaban bibi. Walau seperti bibi tidak pernah mendengarkanku, tetapi, bibi selalu menulis dibuku kecil dengan pensil untuk menjawab setiap pertanyaanku. Bibi tidak pernah mengabaikan pertanyaanku.
Dunia sunyi, memperjelas keadaanku yang sehari hari di kursi berayun. Aku bergerak kala bibi disampingku, menyuapiku dan memandikanku. Kesendirian, membuat rasa penasaran untuk meramaikan perbedaanku diluar sana.
Aneh, setiap sore aku makan, dan pagi buta. Aku dibangunkan untuk melahap sedikit jerih payah bibi. Namun, pagi itu bibi memberiku semangkuk ketupat dan ayam. Pagi yang cerah dan tidak biasa dengan banyak orang lalu lalang menghampiri. Karena heran, aku pun bertanya pada bibi.
“kenapa bibi memberikan aku makan pagi hari?” tanya aku. Tak lupa bibi merangkai aksara untuk aku lewat buku kecilnya, sekalipun saya membaca masih terbata.
“ini adalah pintu keluar, pintu keluarnya cahaya dari kegelapanmu, nak”.
Aku bingung dengan penjelasan bibi. Lantas aku mencoba menunjuk gerombolan anak yang sedang bermain,
“bibi sedang apa mereka?, kenapa mereka menutup telinga setelah melemparkan benda itu?”
lewat buku kecil, bibi menjawab bahwa mereka sedang bermain petasan.
Entah apa yang ingin aku mengerti, keadaan ini seperti pernah aku alami. Apalagi ketika mereka berlarian. Aku ingin sekali mengikuti mereka tetapi, dayaku hanya bisa melihat dipundak bibi. Aku tidak tega menyuruh bibi mendekati mereka.

Melihat
mereka, aku kebingungan. Bibi menyodorkan bukunya ”bibi lelah nak, ayo kita masuk dan istirahat”. Bibi tersenyum cerah walau harus menahan berat badanku di pundaknya. Bibi pun segera masuk, dan menaruh aku ke tempat biasa, kursi berayun buatannya. Sambil berayun, aku merasakan keindahan hari ini. Meski aku bingung dengan kehidupanku.
Tiba tiba muncul laki laki berkaca mata. Dia masuk dan mengelus rambut kumalku sambil tersenyum. Walau aku tidak mengenal, aku pun membalas senyumnya. Laki laki sepertinya mencari bibi. Dia bertatap muka lama dengan bibi. Aku juga menatap mereka berharap aku tahu keadaannya. Setelah lelaki itu pergi, bibi mendekatiku. Menyodorkan buku kecilnya “besok bibi mau pergi cukup lama, kamu hati hati dirumah ya? Bibi mau bertemu dengan seseorang yang akan menolong kita”. Aku pun mengangguk dengan sedikit keberatan.
Malam hari, bibi tidur disebelahku sambil memeluk erat tubuhku. Aku berdoa, semoga bibi kuat merawatku sampai aku besar nanti. Sunyinya malam aku lewati, tak lupa melafalkan doa doa umtuk bibi. Pagi buta bibi belum terbangun, masih terlelap. Hari ini tidak seperti biasanya, kala aku dibangunkan bibi untuk melahap makanan.
Sampai pagi aku hanya terlelap beberapa waktu yang tidak lama. Bibi sudah terbangun dengan pekerjaan ringan yang rutin. Menyapu dan mencuci. Bibi melirikku dengan senyum.
tanpa jeda, aku langsung menanyakan kepergiannya.
“bi, katanya bibi mau pergi? Pergi kemana? Aku tidak diajak.”
Dengan sabar aku menunggu bibi menjawab lewat buku kecil yang hampir penuh.
“Bibi pergi sebentar lagi, setelah memandikanmu nak. Bibi pergi ke rumah laki laki yang kemarin datang. Bibi tidak mau kamu kenapa kenapa. Jadi, kamu lebih baik tinggal disini, disana banyak orang jahat, baik baik ya” Bibi menatapku, dan meneteskan air matanya sambil memelukku. Sekalipun diusap, bibi terlihat sedih. Mungkin agar aku tetap bahagia di matanya.
Bibi pun pergi dengan mata cerah dan wajah sumringah. Aku berpikir, apakah bibi akan meninggalkanku selamanya? Dalam benakku, mungkin bibi akan diberi batuan oleh laki laki itu. Bibi tidak akan meninggalkan aku. Tetapi, Aku menangis deras takut bibi benar-benar meninggalkanku.
Beberapa waktu tangisku berhenti. Sekelompok orang datang memakai baju putih panjang. “Ada apa ini?” Sejenak berpikir, mungkinkah bibi mengalami nasib serupa. Aku menjerit memanggil bibi.
“Bibi, bibiii, bibiiiii....!!! ” mereka membawaku dalam sebuah mobil berwarna putih. Aku tidak bisa melawan, hanya jeritan yang diabaikan oleh mereka. Mereka menutup mulut dan hidungku sampai
aku tidak sadar.
Dalam ruangan kecil dengan sebuah tempat tidur, aku sadar. Ruangan aneh yang baru aku lihat. Aku langsung teringat bibi
“bi, bibi dimana? Apakah bibi benar benar meninggalkanku”. Ucap aku
Datang seorang laki laki, dia adalah orang yang dituju oleh bibinya sebelum meninggalkanku. Aku langsung bangun dengan setengah badan.
“hey, dimana bibiku ?!” bentak keras aku kepada laki laki itu.
Dia tidak menjawab, “apakah kamu tidak mendengarkanku ?!  katakan !” tambah aku.
“Cepat, katakan !! meninggi.
Sontak, dia menunduk dan meneteskan air matanya.
Aku pun bingung ditengah nada tinggiku dan terengah engah. Dia memberikanku sebuah buku kecil, buku milik bibi.
“dimana bibi? Kenapa buku bibi ada di kamu?” Sambil menarik tangan laki laki itu.
“bibimu menitipkan sebuah buku kecil kepadaku untuk kamu, dia memberikan pesan untukmu dihalaman terakhir bukunya” kaget aku, aku bisa mendengar jelas suara dari dia berbicara. Aku sadar kenapa bibi menuliskan ucapannya di buku itu.
dia meneruskan pembicaraannya bahwa bibiku yang sangat baik itu memberikan jantungnya kepada istriku, dia berpesan kepadanya “ nanti kalau istrimu sembuh dengan jantungku, mohon anda mau mengobati telinga dan kaki Qonat serta merawatnya sebagai anaknya” dia menyetujuinya.
Ternyata namaku Qonat. Aku diam, lemas dan menangis sambil memeluk erat buku kecil bibi. Aku kehilangan orang yang sangat menyayangiku. Sekalipun aku mendapatkan hidup baru, aku merasa bersalah dan berhutang budi kepada bibi yang telah merawatku  sampai sekarang ini.
Laki laki itu mendekat, lalu memelukku “ nak, sudah nak. Bibimu sudah tenang dan bahagia disana, apalagi kalau kamu berhenti menangis” laki laki itu juga menjelaskan Qonat adalah pemberian nama bibimu. Bibimu mengadopsimu dari seorang ibu yang telah meninggal karena kecelakaan didekat gubuk bibimu.
“Semakin jelas bahwa aku bukan siapa siapa. Tetapi Tuhan memberikan aku orang orang yang sangat baik disekelilingku” ucap aku dalam isak tangis
“Aku sadar, betapa besar pengorbanan bibi terhadapmu. Aku juga berutang budi terhadap bibimu, aku akan merawatmu seperti anakku sendiri nak” tanggap laki laki itu yang juga menangis.
Isak tangis terhenti, aku ingin membaca pesan terakhir dari bibi,
“Nak, maafkan bibimu nak
bibimu tidak bisa menepati janji untuk merawatmu.
tetapi, bibi akan menemanimu sampai kapan pun
bibi kasihan kepadamu yang tidak bisa mendengar dan berjalan
bibi sering menangis tengah malam meratapi kesedihanmu nak
bibi tidak tega, melihatmu menderita
jadi, bibi putuskan untuk mendonorkan jantung ke yang membutuhkan
bibi membuat perjanjian,
kalau sembuh, keluarganya akan mengobatimu dan merawat seperti anak kandungnya.
jika kamu membaca surat ini, ini jadi pesan terakhirku nak
semoga kamu baik baik saja
berbahagialah dengan kehidupan barumu nak
aku sangat menyayangimu, Qonat.”
Derai air mata tidak bisa aku tahan, menghadapi kenyataan seperti ini. Suara, kaki dan buku kecil ini jadi saksi betapa mulia bibi. Aku janji akan mendoakan bibi, memanfaatkan kehidupan baruku agar tidak sia sia. Bibi, bibi, bibi yang sangat aku sayangi.
Setelah pulih, aku hidup bersama orang tua angkatku, mereka menerima dan menyayangiku. Namun, tidak jarang aku mengunjungi makam bibi yang dimakamkan didalam gubuk yang dulu bibi tinggali bersamaku. Saya membiarkan gubug itu tetap utuh dengan kursi berayun yang aku gunakan waktu itu.