Tuesday 7 April 2015

Desakan ke arah Perbaikan Ekonomi

Di bawah kapitalisme, Aku sebagai orang biasa menikmati kemudahan kemudahan yang di jaman dungteng tidak dikenal. Kemudahan yang tidak dapat dinikmati oleh penduduk terkaya sekalipun. Tetapi, emm tentu, materi berupa sesuatu yang bisa diukur ora ujug ujug (tiba-tiba) membuat orang menjadi bahagia. Begitu seseorang memperoleh materi tersebut, ia mungkin lebih senang daripada sebelumnya. Sayangnya, begitu sejumlah hasratnya terpuaskan, hasrat-hasrat baru pun akan mencuat ke permukaan, bahkan lebih banyak. Begitulah manusia, kodrat manusia, kodrat aku dan kalian.

Katakanlah sedikit penduduk disekitarku, penduduk Indonesia yang belum menyadari sepenuhnya realita bahwa negara mereka menikmati standar hidup tinggi dan bahwa pandangan hidup rata-rata penduduk tampak luar biasa, sesungguhnya berada di luar jangkauan sebagian besar masyarakat yang hidup di negara-negara non-kapitalistik.

Kebanyakan orang kurang menghargai apa yang mereka miliki dan apa yang dapat mungkin mereka capai, dan malah mendambakan hal-hal yang tidak dapat mereka akses. Sia-sia meratapi hasrat yang tak mungkin terpuaskan untuk mendapatkan barang lain lebih banyak lagi. Tepatnya nafsu akan hal inilah yang mendorong orang untuk memperbaiki ekonomi. Hanya berpuas diri atas apa yang telah dimiliki atau terhada hal yang gampang diperoleh, serta menahan diri secara apatetis dari upaya peningkatan kondisi material bukanlah kebajikan. Sikap demikian justru lebih mirip dengan tingkah laku hewan, ketimbang perilaku manusia yang mampu berpikir.

Ciri paling khas kemanusiaan adalah bahwa ia tidak berhenti berupaya memajukan kesejahteraannya melalui aktivitas-aktivitas yang bertujuan. Namun, usaha semacam itu harus disesuaikan dengan tujuannya. Jerih yang diambil harus sesuai dengan efek yang dituju. Yang salah bagi kebanyakan sejawat kita bukan terletak pada kenyataan bahwa mereka amat mendambakan keberlimpahan persediaan barang, melainkan bahwa mereka memilih cara yang keliru demi mencapai tujuan mereka. Mereka mengikuti ideologi-ideologi palsu.

Mereka memilih kebijakan-kebijakan yang kontradiktif bagi kepentingan vital yang sesungguhnya mereka pahami. Akibat terlalu pandir untuk melihat konsekuensi jangka panjang yang tak terelakkan dari perilaku mereka, mereka hanya mencari kesenangan dalam efek jangka-pendek kebijakan yang ditempuh. Mereka mendukung banyak upaya yang dapat dipastikan akan berakhir sebagai pemiskinan secara umum, disintegrasi kerjasama sosial di bawah prinsip pembagian kerja, dan kembali kepada barbarisme.

Untuk meningkatkan kondisi-kondisi material kemanusiaan, hanya terdapat satu cara: yakni dengan meningkatkan pertumbuhan alokasi kapital (modal) untuk mengimbangi pertumbuhan populasi. Semakin besar volume kapital yang ditanam per kepala pekerja, semakin banyak dan semakin baik pula barang yang dapat diproduksi dan dikonsumsi. Inilah yang telah dihasilkan dan terus dihasilkan oleh kapitalisme, sebuah sistem keuntungan yang sering dicaci. Kendati demikian, hampir semua pemerintah dan partai politik dewasa ini sangat bersemangat untuk menghancurkan system ini.

Mengapa kapitalisme begitu dihujat? Mengapa mereka, seraya menikmati limpahan kesejahteraan berkat kapitalisme, merindukan keindahan “tempo doeloe” dan kondisi-kondisi buruk semacam yang dialami para buruh di Indonesia saat ini?

Source : Ludwig von Mises

0 komentar:

Post a Comment