|
ilustrasi |
Hujan mengguyurku saat pulang menggendong pengetahuan. Saat tiba dirumah, tubuhku terbaring lemas di atas ranjang. Aku meringik sembari memegang dadaku yang lembek. Sore ini keluarga begitu cemas menyandangku. Terlebih ibuku, setiap detik tak memalingkan mata belainya yang tulus. Beribu doa telah terucap untuk menyelamatkan satu-satunya anak yang tersisa. Sang pemberi asi gamang padaku, kehilanganku. Aku paham perasaan ibu, sorot kecemasan yang menyilau. Matanya begitu sayu, tak berseri.
Sore ini hujan mulai deras. Aku ingin duduk bersandar sambil memandang sebuah kotak yang lusuh, kecil, seperti sebuah hadiah kecil. Kulihat ukurannya seperti kotak cincin. Tak jelas apa yang ada didalamnya. Kotak itu ada sebelum aku berada disini. Setiap orang yang masuk akan menganggapnya sebuah barang antik. Ah, masa bodo. Kotak itu seperti mainan yang tersedia di tukang mainan keliling.
Kotak kecil itu adalah kotak mainan kakakku. Ibu menjawabnya begitu setiap kali aku tanya tentang kotak itu. Oh, mungkin ibu masih mengenang mainan kakakku. Entah, ibu hanya bisa berpasrah, kakakku dan aku yang sedang dipikirkannya, anak anak yang lemah.
Dulu setiap sore, aku dan kakak mengobrol di sini, didekat jendela, tak kala aku memandang matanya yang teduh. Mata yang seolah bercerita dengan riang. Mata yang membuat aku percaya bahwa dia seorang kakak yang tabah. Aku belum pernah melihat wanita yang penuh cinta dan gairah. Sosok ibu yang turun kepada anak pertamannya.
Suara yang lembut seperti alunan yang membilas genderang telingaku, begitu sejuk. Kakak cerdas dan luar biasa bila ia bercerita, menawan dan bersabda. Banyak bercerita tentang hidupnya dan kotak itu. Katanya, dalam kotak itu adalah mainan kakakku, mainan kesayangan ketika aku menanggis. Kakakku dengan kotaknya lihai membuat aku bergembira lagi. Masa kecilku, masa balitaku. Aku tak bertanya perihal pernyataan kakak. Karena jelas kotak itu mainan bersama aku dan kakakku.
Suatu sore kakak bercerita ”Kita adalah kotak yang mempunyai empat sisi samping, satu sisi atas dan satu sisi bawah. Kita adalah keluarga yang sepeti kotak, aku, kau, ibu dan bapak empat sisi sampingnya, lalu sisi bawah dan atas adalah kekuatan dan cinta. Oleh sebab itu, Ketika salah satu sisi roboh, kekuatan dan cinta bisa menjaga sisi yang roboh” kakak begitu lugas. Setelah selesai, kakak biasanya memegang kotaknya. Kami selalu seperti itu, selalu mengumbar rasa pada segala yang ada di sekitar. Walau cuma ada kotak. Bagi kami, hidup tak bakal habis meski digali dari sebuah kotak. Mungkin ini kenangku pada kotak dan kakakku.
Hujan telah lebat, selebat kecemasan ibu kepadaku. Sebab tak biasanya aku sakit meringik akhir ini. Sebelumnya, sehari atau paling lambat tiga hari, ada hal yang aneh padaku. Hal itu menjadi biasa karena aku terlalu keras beraktivitas. Aku pikir itulah sebab aku merasa sakit di dada, dadaku yang lembek. Ibu juga mengatakan bahwa ibu merawat kakak seadanya sebelum pergi. ibu tidak mau mengulangi. Ibu memandangku penuh harap, aku akan tetap hidup. Ibu pun membawaku ke rumah sakit.
Di ruang yang semakin sempit justru tak tenang, pandanganku terbatas seperti dalam kotak. pandanganku yang hanya sampai pada tembok tembok putih. Apalagi, orang orang cengeng yang mendekatiku. Sungguh, aku ingin berdiri dan lari ke halaman belakang rumah. Mendapati sepoinya angin dengan pandangan tanaman padi yang hijau dan kicau burung emprit yang merdu.
Sudah tengah malam, orang orang penunggu orang sakit tidak segan melepas kantuknya. Alunan sendu karunia Tuhan mengalir merdu ke telinga. Sang pemberi asi yang terus memuntahkan suara kecemasan, tampak layu raut mukanya. Jelasnya, aku tak bisa menahan hari demi hari di ruang kecil yang berbatas. Gerah, aliran keringat mengalir. Kondisi ini dirundung duka.
Mungkin sebuah banyolan aku melompat dari keadaan ini. Cepat atau lambat pasti bisa melewati keadaan terbatas ini. Berdoa mungkin jadi tindakan mulia, ketika berjanji dan bersumpahku luntur oleh lembeknya jiwaku. Terus berdoa, dan melihat orang orang yang berdoa untukku.
Aku tak menganggap besok adalah hari baikku. Setidaknya, aku bisa bersandar untuk melihat tegak kedepan, bukan keatas yang selalu nampak putih dan fana. Kemudian bisa mengangguk untuk setiap pertanyaan “kamu tidak apa apa?” karena setiap orang yang menyapaku mengatakan begitu dengan membawa sebuah hasil bumi dari kampungnya, sekalipun aku tak percaya yang sesuai kemampuannya. Mereka tidak peduli sesakit apapun mereka, ketika melihat orang lain berada di rumah sakit.
Lebih dari sebuah renungan panjang ketika berbaring lama disini, terlalu lama !! Aku ingin segera bangkit, aku ingin melolohi hobi hobi kesayanganku, membuat jemari ini lemas merangkai kata demi kata, membuat syair indah tentang hidup. Sayang, kabar sehat itu belum juga datang.
Ku rasa belum saatnya, padahal aku ingin berjuang lagi demi sehelai nafas. Bagaimana bercinta yang halal dengan hobiku. Selanjutnya, aku baru membuang harapan palsu, membersihkan jiwa dan menuju kamar peristihatan terakhir. Lebihnya, para penyandang baju hitam membawakan ragaku kelubang pertiwi.
Kita kenal kereta jawa yang beroda manusia. Itu kendaraan istimewa dan suci untuk manusia. Aku akan terbujur di kendaraan itu. Kalian pun pasti ingin menaikinya kelak. Walau akhirmu tiada prediksi terhebat yang sanggup menganggukinya.
Aku hanya bisa melihat dunia yang fana. Kembali menikmati kehidupan abadi di tumpukan kebaikanku yang ada. Buruknya, jika tumpukan itu tidak terlalu sanggup menahanku. Aku jatuh dalam bara panas dan busuk.
Setelah lama merenung, aku bisa merasakan sebuah keikhlasan dengan keadaan ini, hatiku tenang. Aku pun bisa melemaskan tubuhku untuk bergerak, walau sekedar duduk sambil bersandar sambil menikmati saji sehat dari penjenguk. Dalam hatiku “semoga saja ini bukti aku sudah kembali” . Ternyata benar, kabar sehat itu kembali padaku, aku nanti siang bisa pulang. Kembali pada rumah sederhana yang cukup luas.
Dirumah, aku justru ingat ayah. Ketika sepanjang sore ayah mencoba tetap mengerjakan tugasnya seperti biasa, Nampak lebih keras. Ia tetap menekan tinta dengan kesumukan. Tetapi justru menodong secangkir teh hangat. Aneh, ia seakan tidak peduli dengan hawa sekitar.
Ayah mengambil lembaran folio terus menerus dari ia mulai menulis. Folio itu berserakan dengan bekas genggaman kuat. Entah, ia sedang mengalirkan rasanya pada sebuah tulisan. Aku ingin tahu apa yang ayah kerjakan sebenarnya. Lantas aku mendekatinya dengan tubuh yang masih lemas. Ternyata ayah sedang membuat surat, Ia menggeleng nggelleng, ia kesulitan dan tidak tenang. meskipun kenyataan ayahku dulu sampai sekarang adalah orang paling gemar mengajariku untuk tenang.
Tetapi yang muncul di kepalaku hanyalah keadaanku belum kembali. Tak sadar, ayah menatap keras ke arahku, mungkin ayahku menyuruhku kembali ke kamar dan berbaring. Kenyataan tubuh ini belum beger, masih lemas mengulai.
Keadaan dikamar yang mulai sirung, tak jelas. Suasana yang mungkin cocok untuk tidur dikala sehat, namun keadaanku yang lemah membuat tidak tenang. Aku masih teringat kata kata kakak ketika ia masih disini dan berpikir apa benar keluargaku seperti kotak?
Lantas aku berpikir, Keluargaku sudah kehilangan satu sisi, apa akan kehilangan satu sisi lagi? Jika iya lantas bagaimana dikatakan kotak? Ayah dan ibu tentu tidak mempunyai cinta dan kekuatan ketika anak anak mereka telah lenyap dari pelukannya. Sebagaimana yang diceritakan kakak, jika kekuatan dan cinta tidak ada lagi, tidak ada lagi sisi yang tumbuh, kotak itu akan hancur selamanya.