Friday 6 April 2018

PENISTA AGAMA ATAU KITA YANG TIDAK TAHU DIRI? TANGGAPAN UNTUK PUISI "IBU INDONESIA" SUKMAWATI

sukmawati membaca puisi ibu Indonesia -pojoksatu.id
Sebagai penikmat puisi yang pernah buat, juara dan melantunkannya (walaupun dulu pas masih sekolah), saya ikut menanggapi puisi ciptaan putri Bung Karno, Sukmawati yang judulnya "Ibu Indonesia". Kenapa? Tangan saya gatal, daripada digaruk mending biarkan jemari yang baru dipotong kukunya ini menulis, sekadarnya.
Saya amati, makhluk yang merasa tersungging membaca dan mendengar puisi eyang Sukmawati ini sebagian besar sudah dalam kategori mencaci, memaki dan tindakan lain yang tidak mencerminkan 'akhlak' nya. Mungkin mereka kaget, tidak mau tahu lebih dalamnya palung sebuah puisi atau saya anggap mereka penganut eklektisisme.
Sementara saya masih menyelami seberapa dalam palung puisi tersebut, tidak peduli dalamnya sampai mana. Saya ingin tahu maksudnya. Mungkin bahasa yang lebih kalian inginkan adalah tabbayun. Di sisi lain ada yang sudah jauh menganggap penista agama. Padahal kalau kalian hanya sekadar membaca, kalian termasuk penista puisi. Wwkwk
Ada beberapa yang mungkin dianggap melecehkan agama, antara lain.
" Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu"
Bagi muslimah yang sudah istiqomah menutup aurat dengan cadar mungkin sangat terpukul dengan puisi tersebut. Bagaimana tidak? Untuk senantiasa memakai cadar itu sulit banget dan mungkin dalam prosesnya banyak yang mencacinya. Saya maklumi hal ini, termasuk teman saya yang langsung meminta tanggapan akan hal ini. Dia marah marah, padahal baca baru sekali dan langsung lombat lombat.
Sebelumnya saya juga sudah membaca tanggapan Gus Mus, dalam status beliau memberi tanggapan seperti ini
" Apakah karena #penggal kalimat tersebut lantas beliau dihukumi #menistasyariat Islam? Lalu bagimana status #cadar itu sendiri, apakah termasuk syariat atau bukan? Nyatanya sampai hari ini terdpt dua pendapat tentang cadar, satu mengatakan sbgai syariat yang satunya mengatakan hnya bagian produk budaya. Dan bisa jadi ibu Fatmawati sama spertiku mengambil pendapat yang kedua. Sebab itu karena sama-sama produk budaya maka dalam kontek ke-indonesia-an #konde lebih #sakral nilainya"
Saya sih setuju setuju saja dengan beliau,karena saya kurang suka pada hal yang kebenarannya masih relatif. Ibarat mau tadabur sendiri, saya malas karena akhirnya debat dan bertengkar satu sama lain. Kaya anak kecil yang rebutan 'ranjer merah'. Lebih baik pada fokus kepada perlombaan yang hadiahnya adalah persatuan, sehingga hidup tenang dan damai.
Tentang puisi itu, saya punya pandangan sendiri, namun perlu diingat ini sifatnya relatif ya. Saya harap kalian tetap merdeka dengan pendapat yang ada di kepala kalian. Gini. Entah kalian anggap apa itu cadar syariat atau produk buaya. Terserah. Tapi saya akan mengantarkan fungsi cadar dalam puisi tersebut adalah simbol manusia yang acuh pada identitasnya sebagai bangsa indonesia yang simbolnya dengan "konde". Itu aja.
Bijaknya sih, eyang kedepannya lebih mem-filter diksi yang lebih tepat. Sebab konsumsi orang Indonesia instan dan praktis. Seperti mie sakura yang dulu harganya 500an. Kemudian tidak rebus, hanya direndam air panas dalam 'rantang' atau mangkok. Sruput. Udah gitu makannya pakai tiga jari. (Sunnah katanya, haha). Tua amat si saya ini haha.
Phrasa kedua yang juga dianggap melecehkan adalah
"Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan adzan mu"
Kalau ini saya sepenuhnya setuju dengan Gus mus. Cermati baik baik ya tanggapannya
"Apakah karena penggal kalimat tersebut lantas beliau divonis menista syariat Islam? Perhatikan kalimatnya, disitu disebutkan "lebih merdu dari alunan adzan mu". Ibu fatmawati menggunakan kata #alunan bukan #nilai, disitu terdapat kata ganti "mu", merujuk kepada siapa kata ganti ini? Bisa jadi ktika dalam proses penciptaan puisi Ibu fatmawati mendengar alunan adzan dari surau sebelah rumah yng mengalun dari bibir keriput mbah ngadiman, suaranya #melengking dan #garing. Maka benar saja suara alunan adzan dari mulut mbah ngadiman kalah #merdu dari kidung ibu pertiwi. Kidung apa yang mrupakan produk ibu pertiwi? Bisa saja #DandangGulo yang mengalun dari suara emas sinden marsinah"
"Kenapa yang adzan harus mbah ngadiman? Mungkin karena yang muda bersuara merdu kemerduannya tak lagi sisa telah habis buat #takbir disaat #demo, atau mungkin suaranya telah serak karena kebanyakan ngojahi lan ngocek'i Kyai"
Akhirnya kitalah generasi muda yang kena kritik. Lupa dengan identitas kita sebagai bangsa Indonesia dan mulai menjauh dari agama. Sudah paham kan? Apa perlu nutrisi dalil dan hadist untuk membuat kalian melek? Saya pikir sudah banyak yang hafal, tapi tidak dianggap sebagai penyatuan "tauhid". Hanya sekadar lambang bahwa "aku ini islam dan pintar lho"
Jadi nomenklatur apa yang cocok untuk manusia seperti kita? Yang dikritik tapi tidak trima? Malah menyalahkan? Cocokkah dengan "manihot utilisima"? nek ora ngerti godong budin cuk!
Iya sudah, mari saling memahami, memaafkan. Ayo jangan sungkan, lebih mulia kok dari mencaci.

Saturday 22 July 2017

Puisi Tentang "Kotaku"

Gedung gedung tinggi tak luput kami datangi
Bukan untuk selfie atau melihat gadis seksi
Di kota kami belum lama berdiri gedung penyaji gengsi

Di sisi utara kami melihat gunung berapi
Gunung tinggi yang belum lama ini dibolongi
tak cukupkah betina seksi di gang sebelah kiri?

Kota kami kedatangan Transportasi yang berbasis aplikasi
Siap mengantarkan kami ke tujuan dengan pasti
Bukan transportasi yang suka menetap lama sekali

Puisi Tentang Alam "Sabtu Pagi"



Sabtu Pagi



Oleh Ludbizar




Stop tuangkan kopinya lagi nak

Gelap yg mau berakhir adalh gejala rutin alam

Kau bisa menemuinya lagi esok




Ayam ayam mulai berkokok,

dapur dapur mulai beroperasi

Dan bapak bapak pergi bersuci




Khalayak ramai akan kau temui

Di persimpangan jalan

Di tempat belajar

Dan tempat tempat umat mengabdi




Lalu

Kau hanya bisa diam

Mengamati apa yg ingin kau nikmati

Sebuah jalan sepi menuju mimpi




Kau indahkan sisa malam

Dari sudut jendela kau berjanji

Suatu saat nanti,

Pagi akan tidak kau temui lagi




Setetes embun yang jatuh

Dari daun daun melati

kaca kaca buram

Dan rumput rumput teki




Kau sendiri, kini

Di keheningan mimpi

Kau sudah jauh

Meninggalkan nuansa pagi




Antologi Puisi, Ruang huni bernama sepi

Puisi Tentang Indonesia Saat Ini, "Kami Melihat"


Kami melihat



Oleh Ludbizar




Kami melihat,

Sekumpulan orang berpartisipasi

Bukan audisi, bukan pula kompetisi

Lebih mirip rutinitas para Abdi




Kami mencatat

Tukar tukar dasi

Gonta ganti asumsi

Dan lalu lalang pencuri




Kami mendengar,

Sekumpulan orang masturbasi

Bukan karena gadis seksi

Bukan juga jabatan tinggi




Kami mengkaji

Orang orang yg beraksi

Memuja memuji pemimpin suci

Sambil mengalungi belati




Kami menyadari

Ruang demokrasi dikencingi

Ruang suci dikotori

Oleh pencinta eksistensi




Kami sekali lagi menyadari

Kami korban subsidi

Korban hoax setiap hari

Dan pencitraan foto selfi




Kami malu

Pada diri sendiri yg tak mau berdiri

Punya wakil aspirasi Yang suka berahi

Dan para pengutip kitab yg kurang literasi






Monday 4 July 2016

Dialog Teras Rumah - Si Polan bawa nyawa dalam amplop

Juguran di teras rumah lebih membudaya dari pada juguran di masjid sambil mengulas habis kitab suci. Setiap malam warga baik bapak atau ibu ibu selalu berdialog di teras rumah membahas persoalan HOT di linkungan. Kata mereka, inilah salah satu komunikasi sosial yang paling tepat dalam mempererat persaudaraan di kampung, selain gotong royong. Adanya dialog sehat tiap malam menjadi pandangan tersendiri masyarakat terhadap masalah yang ada daripada menonton TV, karena esensinya sama membahas masalah yang lagi rama saat ini. Kita juga punya pendapat, timpalnya (Warga-red).

Suatu malam yang seperti biasa, beberapa warga mulai kumpul setelah melaksanakan 23 rakaat dengan cepat, lainnya terus berdatangan. Mereka mulai membahas apa saja yang sudah dilakukan dan dirasa itu perlu diungkapkan. Warga bergantian mengeluarkan ungkapan hingga tiba saat titik temu topik yang cocok untuk dibahas oleh warga yang duduk diteras rumah. Setiap malam seperti itu, meski hujan, mereka tetap dialog.

Suatu kejadian ada si tuan polan bawa keranda kosong

Malam malam lain sudah terjadi seperti biasa, tetap malam lalu ada dialog menarik ketika polan datang dengan tugas membawa keranda kosong untuk menjemput nyawa. Ya, sebuah amplop putih berisi daftar nama manusia yang sudah meninggal, mereka akan didoakan dengan syarat rupiah seikhlasnya. Hal itu sudah biasa terjadi ketika ada acara besar keagamaan.

Polan datang sedikit malu karena beberapa orang langsung menatapnya, nampaknya polan adalah utusan pertama dari atasannya. 

"Maaf, pak, bu, saya mau membagikan khaul " ucapan polan sebagai sambutan kepada beberaoa warga yang sedang asyik berdialog.

Salah satu warga menjawab dengan ramah "Ya sini, duduk dulu, dari mana dan untuk apa?"

"saya diutus dari ponpes .... untuk acara menyambut hari raya" jawab polan lugu sambil menyerahkan amplop putih berisi daftar nama

"Ini diisi sekarang atau kamu mau ambil lagi besok?"

"Sekarang boleh, besok juga boleh"

"Oh, iya, kalau saya sekarang aja gimana tapi saya ga bawa uang?" salah satu warga nampaknya menguji si polan yang baru pertama kali

Si polan bingung, mau jawab apa, karena pesan sang guru agar setidaknya bisa sambil mengumpulkan dana untuk kegiatan lain.

Polan tahu, mereka sedang menguji keikhlasan dirinya, dia mengangguk sambil memberi pena yang dipegangnya.

Warga yang sedang mengisi daftra nama itu sambil bicara " Nanti siapa yang mau doain?"

"Pak kyai dan jajarannya, pak" jawab polan

"Mas, saya besok aja ya, saya ga bawa uang cukup untuk mengisi amplop" sahut warga lainnya.

"Iya ga papa pak, saya datang lagi" jawab polan sambil menengok ke arah warga yang menyahut tadi

Polan mengambil amplop yang sudah terisi nama nama mayat yang akan didoakan. Lalu polan beranjak, dan pamit. Namun warga yang mengisi daftar nama tiba tiba memegang pundak polan.

"Mas, ini uangnya, tetapi ini uang untukmu, bukan untuk nyawa yang sudah saya tulis"

Polan bingung lagi, sambil geleng geleng kepala, dia tidak mau. Dia seperti ketakutan akan hal tersebut. 

Lalu orang tiu menjelasnkan, "ini uang untukmu, saya sedekah kepada anda sebagai rasa terima kasih, trima saja,"

"Kalau saya ngisi uang dalam amplop, walau saya ikhlas, tetapi saya tidak meminta doa yang berbayar, tidak mau"

"kalau sodakoh, saya rasa boleh boleh saja tidak aturannya seperti zakat dll"

Akhirnya dia menerima dan berterima kasih, dan pulang ke rumah guru.

Itulah seceblek kejadian kemarin sore. Jangan tanggapi dengan hal macam macam. Ini sebuah bahasan yang jelas untuk melakukan metode yang lebih baik lagi.

Friday 27 May 2016

Yang Lain

Tidak ada baiknya, tidak ada pula kebaikan
Berbicara, bersikap dan bertindak lurus
Ini bukan meja judi, yang ingin terus menang
Bukan pula berdoa yang selalu ingin kuat dan mudah
Ini masalah dapur bagaimana bisa terus berasap
Bisa makan, kenyang dan damai
Ini kehidupan didunia

Tidak ada gunanya, tidak ada kegunaannya
Menyingkirkan, Meluruskan 'yang lain' biar sama sama
Ini bukan jalur kereta yang tidak akan keluar jalur
Bukan pula udara yang selalu mengisi ruangan
ini masalah sandiwara yang melibatkan banyak tokoh
Bengis, jujur, sabar dan rajin bertemu dalam 1 masalah
Ini perbedaan




Sunday 21 February 2016

DUA PENGANTIN





”Masih jauh?” tanya Badrun tanpa menoleh. Kedua tangannya memeluk tas ransel yang ada di pangkuannya. Kaki kirinya terus bergoyang-goyang tanpa bergeser sedikit pun posisinya.

”Paling setengah jam lagi,” jawab Rozi sambil menggeser kepalanya mendekati jendela yang terbuka. Ia selonjorkan kursinya ke ruang kosong yang ada di depan jok yang didudukinya.

”Tadi jadi nelepon istrimu?”

”Jadi,” jawab Badrun lagi-lagi tanpa menoleh dan tanpa menggeser tangan dan kakinya sedikit pun. Jawabannya pendek dan terasa enggan. Membuat Rozi salah tingkah dan memilih diam.

Mobil Colt tanpa AC itu terasa kian pengap. Sopir mengeraskan musik dangdut yang sedang ia putar sambil ikut menyanyi dengan suara keras tak peduli ada dua orang penumpang di belakangnya.

”Kamu nggak mau nelepon siapa-siapa?” tanya Badrun kali ini sambil menoleh ke arah Rozi.

”Mau nelepon siapa?” Rozi malah bertanya balik sambil tertawa. ”Nggak punya istri!”

”Ya ibumu tho,” jawab Badrun sambil menatap Rozi. Kaki kirinya masih terus bergoyang.

”Ibuku sudah tua. Sudah pikun. Jangan-jangan juga sudah lupa punya anak bungsu yang namanya Rozi. Saking banyaknya anaknya yang lain,” jawab Rozi sambil terkekeh.

”Memang punya berapa saudara?”

”Tujuh! Aku yang kedelapan. Cuma sisa-sisa ampas. Nggak pernah diurusin juga bisa besar sendiri. Aku hilang juga tidak ada yang nyari. Aku mati juga paling tak ada yang nangisi.” Rozi masih terkekeh. Badrun meliriknya dengan heran.

”Tapi tak lama lagi aku pasti bisa kumpul sama Mamak. Berdua saja. Biar kumanjakan dia dengan apa saja yang ia minta. Biar sadar dia kalau hanya aku yang bisa bikin dia bahagia,” lanjut Rozi. Kata-katanya penuh penekanan. Terlihat ia sangat yakin dengan apa yang sedang ia katakan.

”Kumpul di mana?” Badrun bertanya pelan penuh rasa heran.

”Di surgalah! Di mana lagi? Mamak sudah sangat tua. Paling tak sampai setahun ia sudah menyusulku ke sana.”

Badrun menelan ludahnya. Goyangan kakinya semakin keras. Ia peluk ranselnya semakin erat.


”Istri dan anakku masih lama nyusulnya,” kata Badrun pelan. Lebih menyerupai bisikan pada dirinya sendiri. Tapi Rozi masih bisa mendengarnya.

”Ya bagus. Bisa lebih lama mendoakan kamu. Doa anak untuk bapaknya katanya doa paling manjur.”

”Lha apa orang seperti kita ini juga masih butuh doa?”

”Hehhehheh,” Rozi memainkan suara tawanya. Ia tak menjawab pertanyaan Badrun dan malah memilih untuk mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

Mereka berdua diam. Suara sopir yang sedang menyanyi mengikuti lagu yang sedang diputar terdengar semakin jelas.

”Memang bidadarinya secantik apa tho, Zi?” Badrun membuka mulutnya tanpa menoleh ke Rozi.

”Heh?” Kini suara ”heh” dari mulut Rozi bukan lagi suara tawa yang dibuat-buat, melainkan letupan kaget atas pertanyaan Badrun.

”Aku nanya, bidadarinya secantik apa?” Badrun mengulang pertanyaannya lagi-lagi tanpa menengok ke arah Rozi.

”Katanya sih, cuantiiiik banget. Kecantikan yang tak bisa dibayangkan oleh akal kita,” jawab Rozi dengan kalem. Ia tak lagi bicara sambil tertawa atau cengengesan. Matanya beberapa saat dipejamkan, seperti sedang mencari-cari bayangan kecantikan itu dalam kegelapan penglihatannya.

”Kayak Desy Ratnasari?” Badrun kini bertanya sambil memandang Rozi.

”Walah, kalau itu ya jelas lewat jauh!” jawab Rozi sambil memainkan tangannya, seolah ingin memberikan penekanan pada kata lewat jauh yang diucapkannya. ”Agak kearab-araban barangkali ya. Yang matanya lebar, hidung bangir, kulit putih. Aaahh!”

Keduanya mengikik. Seperti sedang menertawakan diri mereka sendiri.

”Kamu sudah pernah kawin, Zi?”

”Sudah dibilang enggak punya istri.”

”Iya, kawin kan enggak perlu punya istri.”

Mereka tertawa kecil bersama.

”Belum pernah, Drun. Enggak ada yang mau sama aku,” jawab Rozi masih sambil tertawa.

Badrun tertawa kecil. ”Pantas kamu sudah mau cepat-cepat ketemu bidadari.”

”Kalau itu betul. Siapa yang tak mau ketemu bidadari!”

Lagi-lagi mereka mengikik bersama. Tawa yang begitu lirih dan tertahan, yang lebih menyerupai suara isakan dibanding suara tawa itu sendiri.

”Nanti akan sesakit apa ya, Zi?”

”Ah, kau ini Drun! Sudah hampir sampai masih pula tanya akan sesakit apa.”

”Sebenarnya aku ini penakut, Zi.”

”Sudah pastilah kita yang memilih jalan ini penakut, Drun. Takut dosa. Takut sama Allah. Juga takut sama hidup.”

”Sudah sempat makan kau tadi, Drun?”

Badrun menggeleng. ”Enggak ada selera. Lapar pun sudah tak terasa.”

”Jangan begitu. Makanan enak mungkin hanya satu-satunya yang layak kita kenang dari dunia yang jahanam ini,” kata Rozi sambil merogoh tas yang ada di samping kakinya. ”Nasi padang!”

”Ini,” katanya sambil menyerahkan satu bungkus pada Rozi. ”Aku tadi beli dua bungkus. Sama-sama pakai rendang, limpa, otak. Pokoknya kita harus makan enak. Biar kita makin bersyukur dan bisa menuntaskan perjuangan kita ini.”

Badrun menerima sebungkus nasi yang diberikan Rozi, tapi ia tak juga membukanya. Rozi tak peduli. Ia makan nasi itu dengan tangannya, begitu lahap seolah tak ada kerisauan sedikit pun di dalam hatinya.

”Di sana nanti enggak ada nasi padang, Zi,” kata Badrun sambil tertawa.

”Kata siapa?” tanya Rozi dengan mulut penuh nasi. ”Apa pun bisa kita dapatkan di sana. Nasi padang, sate kambing, ayam goreng, pizza, semua tinggal tunjuk saja! Gratis!”

”Minum bir boleh enggak di sana?”

”Huahahahaha…!” Rozi tak menjawab selain dengan tawa yang terbahak-bahak. Badrun membalasnya dengan ikut tertawa walaupun dalam hatinya ia benar-benar ingin tahu apakah di tempat yang sedang mereka tuju akan disediakan bir atau tidak.

”Mudah-mudahan tubuhku nanti tetap utuh ya, Zi,” kata Badrun sambil mengusap mukanya.

”Apa bedanya?” tanya Rozi sambil menjulurkan tangannya ke luar jendela, mencucinya dengan air minum dalam botol.

”Ya biar bisa dilihat sama anak istriku.”

”Huahahahahaha…!” Rozi terbahak-bahak. Sangat keras hingga membuat sopir menengok ke belakang. Rozi melambaikan tangannya pada sopir dan berkata, ”Lanjut dangdut!” Sopir itu tersenyum dan kembali lagi sibuk dengan musik yang sedang diputarnya.

”Kok malah tertawa?”

”Ya kamu itu goblok! Harusnya kamu berharap agar tubuh kita itu hancur sehancur-hancurnya. Biar tak ada lagi yang bisa mengenali. Biar tidak ketahuan kita siapa.”

”Aku masih ingin bisa pulang ke anak istriku, Zi. Dimakamkan di dekat mereka.”

”Kamu yakin istrimu masih mau nerima?” kata Rozi dengan nada mengejek. Badrun tak menjawab apa-apa.

”Memang kamu tadi bilang apa ke istrimu?”

”Enggak bilang apa-apa.” Badrun menjawab dengan enggan. Rozi pun memilih diam.

”Sudah hampir sampai,” kata Rozi kemudian sambil melirik jam tangannya.

”Mall-nya ada di depan itu,” kata sopir tanpa menolehkan kepalanya ke belakang. ”Nanti saya turunkan di depan lobi lalu langsung saya tinggal. Ada penumpang lain yang nunggu.”

Rozi mengambil tas yang menyandar di kakinya, memangkunya dan memeluknya sebagaimana yang sejak tadi dilakukan Badrun. Badrun memejamkan matanya. Kaki kirinya masih terus bergoyang, bahkan kini kian keras.

”Bidadarinya nanti langsung jemput kita, Zi?” Badrun bertanya lirih, nyaris berbisik, tanpa membuka matanya.

”Katanya begitu,” jawab Rozi juga dengan lirih.

Mobil berhenti. Musik dangdut masih terus mengalun, tapi sopir itu tak lagi ikut menyanyi. Rozi membuka pintu di sampingnya sambil mengangkat ransel yang dipangkunya. Badrun mengikutinya. Mobil langsung bergerak saat Badrun menutup pintu yang dilewatinya.

Mereka berjalan bersama menuju pintu kaca yang dilewati banyak orang dengan memanggul tas ransel di masing-masing punggung mereka.

”Nanti bidadari yang jemput satu atau dua, Zi?” bisik Badrun tepat di telinga Rozi.

”Sepuluh, Drun,” bisik Rozi. ”Sepuluh bidadari akan menjemput kita.”


(Sumber: harian Kompas edisi 14 Februari 2016, halaman 27 dengan judul "Dua Pengantin." oleh okky madasari)